TEORI
PERBANDINGAN SOSIAL (FESTINGER)
Dalam teori perbandingan sosial membedakan
antara kenyataan fisik dengan kenyataan sosial. Apabila pendapat, sikap, dan
keyakinan kita dapat di ukur secara fisik , berarti kita berhubungan dengan
kenyataan fisik, sehingga kita tidaak perlu lagi berkomunikasi. Akan tetapi
bila pendapat, sikap atau keyakinan kita tidak di dasarkan pada kejadian mudah
di ukur, dan kalau dapat di temukan bukti-bukti yang mendukung atau mungkin
membantah pendapat serta sikap keyakinan tersebut, maka kita berhubungan dengan
keadaan sosial, dan ini dapat di ukur dengan secara baik, baik dengan cara
berkomunikasi dengan orang lain yang kita anggap penting bagi kita. Jadi
komunikasi klompok setiap kali timbul karena adanya kebutuhan-kebutuhan
individu-individu untuk membandingkan pendapat, sikap, keyakinan dan kemampuan mereka sendiri dengan orang
lain
Menurut pendapat FESTINGER, dorongan
yang kita rasakan untuk berkomunikasi tentang suatu kejadian dengan anggota
lain dalam kelompok akan meningkat bila kita menyadari bahwa kita tidak setuju dengan
suatu kejadian, apabila kejadian itu menjadi sangat lah penting dan apabila
sikap keterikatan kelompok juga meningkat, sebagai anggota kelompok , kita
lebih cenderung mengarahkan komunikasi kita tentang suatu kejadian pada mereka
yang kelihatanya paling setuju dengan kita dalam hal kejadian tersebut. Kita juga
cenderung untuk mengurangi komunikasi dengan mereka yang kita tidak ingin lagi
ikut serta sebagai anggota kelompok. Jika ternyata anggota kelompok yang
menjadi sasaran penyampaian pendapat-pendapat kita menunjukan gejala akan
berubah.
SOSIAL dari festinger di atas di sadur dari GOLDBERG dan LARSON (1985;52)
SOSIAL dari festinger di atas di sadur dari GOLDBERG dan LARSON (1985;52)
CONTOH KASUS
Contoh Perbandingan Sosial dalam
Kehidupan
Perbandingan sosial dalam fenomena mengantri
Dalam pengamatan saya, saya melihat adanya kesempatan diantara para pengantri, untuk melakukan perbandingan sosial posisinya, dengan mereka yang ada dalam antrian yang sama. Setiap pengantri, akan merasakan mereka berada dalam situasi krisis, atau menghadapi masalah yang harus dipecahkan. Perasaan harga diri dalam situasi semacam itu, ternyata dapat kembali ditegakkan, jika mereka dapat membandingkan diri dengan posisi pengantri lain yang lebih buruk. Jadi para pengantri, bukan hanya menghitung berapa orang lagi yang ada di depan, melainkan juga berapa orang yang juga masih antri di belakang.
Antri, ternyata memprovokasi penarikan perbandingan sosial. Karena dalam antrian, akan terlihat dengan jelas, siapa yang memiliki posisi lebih baik dan siapa lebih buruk. Manusia selalu cenderung membandingkan, dimana posisinya, dengan melihat mereka yang posisi sosialnya berada atas dan di bawah. Sama seperti antrian, siapa posisinya di depan dan siapa di belakang. Pengamatan saya menunjukkan, perbandingan posisi ini berlaku, jika antrian klasik terbentuk, yakni masing-masing pengantri berdisi pada posisi berbaris ke belakang. Jika antrian diatur dengan nomor, seperti di ruang tunggu dokter atau di rumah sakit, fenomena perbandingan posisi sosial tidak muncul.
Perbandingan sosial dalam fenomena mengantri
Dalam pengamatan saya, saya melihat adanya kesempatan diantara para pengantri, untuk melakukan perbandingan sosial posisinya, dengan mereka yang ada dalam antrian yang sama. Setiap pengantri, akan merasakan mereka berada dalam situasi krisis, atau menghadapi masalah yang harus dipecahkan. Perasaan harga diri dalam situasi semacam itu, ternyata dapat kembali ditegakkan, jika mereka dapat membandingkan diri dengan posisi pengantri lain yang lebih buruk. Jadi para pengantri, bukan hanya menghitung berapa orang lagi yang ada di depan, melainkan juga berapa orang yang juga masih antri di belakang.
Antri, ternyata memprovokasi penarikan perbandingan sosial. Karena dalam antrian, akan terlihat dengan jelas, siapa yang memiliki posisi lebih baik dan siapa lebih buruk. Manusia selalu cenderung membandingkan, dimana posisinya, dengan melihat mereka yang posisi sosialnya berada atas dan di bawah. Sama seperti antrian, siapa posisinya di depan dan siapa di belakang. Pengamatan saya menunjukkan, perbandingan posisi ini berlaku, jika antrian klasik terbentuk, yakni masing-masing pengantri berdisi pada posisi berbaris ke belakang. Jika antrian diatur dengan nomor, seperti di ruang tunggu dokter atau di rumah sakit, fenomena perbandingan posisi sosial tidak muncul.
TEORI PERTUKARAN SOSIAL (Kelly dan Tbibaut)
Dalam
buku mereka yang berjudul "The Sosial Phichology of Groups" Thibaut dan
Kelly (dalam Goldberg dan Larson, 1985:54) memusatkan perhatian
terutama pada kelompok yang terdiri dari 2orang anggota atau lebih.
mereka merasayakin bahwa usaha memahami tingkah laku yang kompleks dari
kelompok-kelompok besar mungkin dapat di peroleh dengan cara menggali
pola hubungan 2orang. meskipun penjelasan mereka tentang pola tingkah
laku 2orang bukan sekedar suatu pembahasan tentang proses komunikasi
dalam kelompok 2anggota , beberapa rumusan mereka mempunyai relefansi
langsung dengan study tentang komunikasi kelompok
Model kelly dan thibaut mendukung asumsi-asumsi yang di buat oleh
humans dalam teorinya tentang proses pertukaran sosial, dimana interaksi
manusia mencangkup pertukaran sosial dan mencangkup pertukaran barang
dan jasa, dan tanggapan yang muncul dari individu lainnya berkaitan
dengan imbalan dan pengeluaran. apabila imbalan tidak cukup, atau
apabila pengeluaran melebihi imbalan, interaksi akan terhenti atau
individu-individu yang terlibat di dalamnya akan mengubah tingkah laku
mereka dengan tujuan mencapai apa yang mereka cari , imbalan dan
pengeluaran menentukan interaksi di antara individu-individu. interaksi
akan tetap terpelihara apabila imbalan tidak di bawa kepuasan mereka
CONTOH KASUS
Hubungan suami
istri melalui sebuah ikatan pernikahan. Pola-pola perilaku dalam sebuah
pernikahan, hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa
teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan
perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika
merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.
Banyak perceraian
diantara pasangan suami istri terjadi karena salah satu di antara mereka merasa
tidak terjadi kecocokan dengan pasangannya serta merasa dirugikan dengan ikatan
pernikahan tersebut. Fenomena perceraian sangat sering kita saksikan melalui
layar televisi, perceraian selebritis. Bahkan buntut dari perceraian tersebut
adalah sebuah pertikaian dimana antara keduanya tidak ada yang mau mengalah.
Yang awalnya mereka saling mengumbar kasih sayang tetapi setelah bercerai malah
saling melempar caci maki dan kebencian.
Sebuah ikatan
antara suami istri dalam pernikahan harusnya dipandang sebagai sebuah ikatan
suci dan sakral. Sebelum membangun komitmen dalam sebuah ikatan pernikahan
seharusnya antara pria dan wanita harus saling mengenal satu sama lain.
Alangkah baiknya jika sebuah pernikahan dilandasi oleh pemahaman agama yang
baik. Dalam menjalani ikatan pernikahan seharusnya suami istri selalu
berkomunikasi secara intens dan terbuka satu sama lain. Masing-masing pasangan
juga harus saling memahami kelebihan dan kekurangan yang dimiliki pasangannya.
Ketika pasangan tidak mampu dalam suatu hal maka alangkah bijaknya jika ia
tidak menuntut hal tersebut diluar kesanggupan pasangannya. Komitmen-komitmen
seperti inilah yang harus dikedepankan agar tidak terjadi perselisihan yang
akan berakibat pada perceraian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar